Blogger Widgets AMS.Telekinetics: HUBUNGAN AQIDAH, IBADAH, MUAMALAH, DAN AKHLAK JUGA PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI MA'RIFATULLAH
Minggu, 22 Desember 2013 - 0 komentar

HUBUNGAN AQIDAH, IBADAH, MUAMALAH, DAN AKHLAK JUGA PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI MA'RIFATULLAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan social, dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya, semakin penting ilmu tersebut untuk dipelajari. Ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT adalah orang yang bodoh, karena tidak ada orang yang lebih bodoh dari pada orang yang tidak mengenal penciptanya.
Begitu pentingnya aqidah ini, sehingga Nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasul membimbing umatnya selama 13 tahun ketika berada di Makkah dengan menekankan masalah aqidah ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan, bahkan merupakan landasan bangunan Islam. Oleh karena itu, maka para dai dan para pelurus agama dalam setiap masa selalu memulai dakwah mereka dengan tauhid dan pelurusan aqidah
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latarr belakang  diatas maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.     Apa penegertian dari Aqidah, Ibadah, Muamalah dan akhlak?
2.    Bagaimana hubungan antara Aqidah, Ibadah, Muamalah dan akhlak ?
3.    Bagaimana Implikasinya Aqidah, Ibadah, Muamalah Serta akhlak dalam Kehidupan sehari-hari?
4.    Apa pengertian Ma’rifatullah dan apa ciri-cirinya.
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah adalah memberikan penjelasan mengenai hubungan antara Aqidah, ibadah, muamalah dan Ahlak serta implementasinya  dalam kehidupan sehari-hari selain itu juga untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Tauhid Aqidah Akhlak.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Aqidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak.
a. Pengertian Aqidah
         Aqidah secara etimologi;  Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan. Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang. Jika dikatakan “Dia mempunyai aqidah yang benar” berarti aqidahnya bebas dari keraguan. Aqidah merupakan perbuatan hati yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya.
         Aqidah scara syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.
Allah SWT Berfirman dalam surat Yunus Ayat 3, yang berbunyi :



Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?

b. Pengertian Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1.     Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2.    Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3.     Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap. 
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:







Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58].
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Allah  memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
c. Pengertian Muamalah
Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya.
Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamlah;
Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar maupun dalam hal utang piutang.


Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah Ayat 280 yang berbunyi


Artinya : Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Dan Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk berinterksi dan bermuamalah dengan cara bertebaran di muka bumi untuk mencari rezki Allah. Sebagaiman Allah SWT berfirman dalam surat Al Jumah ayat : 10 yang berbunyi :


Artinya : Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
d. Pengertian Akhlak
Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan “khalkun” yang berarti kejadian, serta erat hubungan ” Khaliq” yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti yang diciptakan.
Pengertian akhlak adalah kebiasaan kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak .Jadi pemahaman akhlak adalah seseorang yang mengerti benar akan kebiasaan perilaku yang diamalkan dalam pergaulan semata – mata taat kepada Allah dan tunduk kepada-Nya. Oleh karena itu seseorang yang sudah memahami akhlak maka dalam bertingkah laku akan timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.
 Allah SWT berfirman Surah Al-Maidah, ayat 8




Artinya“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamukerjakan.”
Akhlak sifatnya universal dan abadi. Akhlak dalam islam merupakan refleksi internal dari dalam jiwa manusia yang dieksternalisasikan secara kongrit dalam bentuk perilaku dan tindakan nyata. Akhlak seseorang terkait erat dengan perspektif keimanannya, tentang eksistensi dirinya sebagai khalifah Allah. Akhlak yang lahir dari kualitas internalisasi nilai-nilai iman sudah barang tentu akan memancarkan kualitas yang lebih baik. Demikian pula sebaliknya, akhlak yang buruk merefleksikan kadar keimanan seseorangyang masih labil.
Dengan demikian memahami akhlak adalah masalah fundamental dalam Islam. Namun sebaliknya tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akhlak. Jika seseorang sudah memahami akhlak dan menghasilkan kebiasaan hidup dengan baik, yakni pembuatan itu selalu diulang – ulang dengan kecenderungan hati (sadar) .
Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan dan kebiasaan dan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Semua yang telah dilakukan itu akan melahirkan perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia itu sendiri sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.
B.     Hubungan Antara Aqidah, Ibadah, Muamalah,  dan Ahklak
a. Hubungan aqidah dengan akhlak
Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia. Keyakinan hidup inidiperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia.
Aqidah sebagai dasar pendidikan akhlak, Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan benar, niscahya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah.
Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang berhubungan dengan aqidah. Jujur dapat terwujud apabila seseorang telah memegang konsep-konsep yang berhubungan dengan aqidah. Dengan dijalankanya konsep-konsep aqidah tersebut maka seseorang akan memiliki akhlak yang baik. Sehingga orang akan takut dalam melakukan perbuatan dosa
Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinanya terhadap Allah  juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah Allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya. Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka, karena hanya inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha Allah dan atau membawa mereka mendapatkan balasan kebaikan dari Allah
b. Hubungan aqidah dengan ibadah
Akidah menempati posisi terpenting dalam ajaran agama Islam. Ibarat sebuah bangunan, maka perlu adanya pondasi yang kuat yang mampu menopang bangunan tersebut sehingga bangunan tersebut bisa berdiri dengan kokoh. Demikianlah urgensi akidah dalam Islam, Akidah seseorang merupakan pondasi utama yang menopang bangunan keislaman pada diri orang tersebut. Apabila pondasinya tidak kuat maka bangunan yang berdiri diatasnya pun akan mudah dirobohkan.
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada allah. Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap allah.
Selanjutnya Ibadah yang merupakan bentuk realisasi keimanan seseorang, tidak akan dinilai benar apabila dilakukan atas dasar akidah yang salah. Hal ini tidak lain karena tingkat keimanan seseorang adalah sangat bergantung pada kuat tidaknya serta benar salahnya akidah yang diyakini orang tersebut. Sehingga dalam diri seorang muslim antara akidah, keimanan serta amal ibadah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara ketiganya.
Muslim apabila akidahnya telah kokoh maka keimanannya akan semakin kuat, sehingga dalam pelaksanaan praktek ibadah tidak akan terjerumus pada praktek ibadah yang salah. Sebaliknya apabila akidah seseorang telah melenceng maka dalam praktek ibadahnya pun akan salah kaprah, yang demikian inilah akan mengakibatkan lemahnya keimanan.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, sejak kelahirnya telah dibekali dengan akal pikiran serta perasaan (hati). Manusia dengan akal pikiran dan hatinya tersebut dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar, dapat mempelajari bukti-bukti kekuasaan Allah, sehingga dengannya dapat membawa diri mereka pada keyakinan akan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengakui keberadaan Allah SWT. karena selain kedua bekal yang dimiliki oleh mereka sejak lahir, Allah juga telah memberikan petunjuk berupa ajaran agama yang didalamnya berisikan tuntunan serta tujuan dari hidup mereka di dunia.
Ibadah mempunyai hubungan yang erat dengan aqidah. Antaranya :
1.    Ibadah adalah hasil daripada aqidah  yaitu keimanan terhadap Allah sebenarnya yang telah membawa manusia untuk beribadat kepada Allah swt.
2.    Aqidah adalah asas penerimaan ibadah yaitu tanpa aqidah perbuatan seseorang manusia bagaimana baik pun tidak akan diterima oleh Allah swt.
3.    Aqidah merupakan tenaga penggerak yang mendorong manusia melakukan ibadat serta menghadapi segala cabaran dan rintangan.
Akidah adalah merupakan pondasi utama kehidupan keislaman seseorang. Apabila pondasi utamanya kuat, maka bangunan keimanan yang terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang tersebut pun akan kuat pula.
Amal ibadah tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah yang benar. amal ibadah dinilai benar apabila dilakukan hanya untuk Allah semata dengan ittiba’ Rasul SAW.
Manusia diberi bekali akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut mereka dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah, menganalisa hakikat kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan dirinya diciptakan di dunia. Akal pikiran dan perasaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Oelh karena itu manusia dipercaya untuk menjadi khalifah Allah di Bumi.
c. Hubungan aqidah dengan muamalah
Pola pikir, tindakan dan gagasan umat Islam hendaknya selalu bersendikan pada aqidah Islamiyah. Ungkapan “buah dari aqidah yang benar (Iman) tidak lain adalah amal sholeh” harus menjadi spirit dan etos ummat Islam. Pribadi yang mengaku muslim mestinya selalu menebar amal shalih sebagai implementasi keimanannya di manapun mereka berada. Tidak kurang 60 ayat Al Qur’an menerangkan korelasi antara keimanan yang benar dengan amal sholeh ini. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perintah beriman kepada Allah dan hari akhir selalu diikuti dengan perintah untuk melaksanakan amal shalih. Inilah makna operatif dari ungkapan “al-Islamu ‘aqidatun wa jihaadun”, bahwa kebenaran Islam itu harus diyakini sekaligus juga diperjuangkan pengamalannya secara sungguh-sungguh dalam konteks kemaslahatan dan bebas dari perilaku teror.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu semua. Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki dampak sosial yang baik. Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga muamalah yang baik.

d. Hubungan Antara Aqidah, Ibadah, Muamalah,  dan Ahklak
Aqidah adalah pondasi keber-Islaman yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain: akhlaq, ibadah dan Muamalah. Aqidah yang kuat akan mengantarkan ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan muamalat yang membawa maslahat. Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah dengan pokok-pokok ajaran Islam yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan simbiosis. Artinya, ketaatan menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan bermuamalah yang baik akan memelihara aqidah.
Dengan kata lain, ibadah adalah pelembagaan aqidah dalam konteks hubungan antara makhluk dengan Khaliq; akhlaq merupakan buah dari aqidah dalam kehidupan yang etis dan egaliter; dan muamalah sebagai implementasi aqidah dalam masyarakat yang bermartabahat dan menebar maslahat. Karena itu, agar aqidah tumbuh dan berkembang, aqidah harus operatif dan fungsional. Di Indonesia kita menyaksikan beberapa ormas Islam yang telah berhasil mengembangkan amal usaha atau unit pelayanan umat seperti Panti sosial dan anak yatim, lembaga pendidikan dan pondok pesantren, balai pengobatan dan rumah sakit, lembaga pengumpul dan penyalur zakat serta lembaga-lembaga sosial keagamaan lainnya. Lembaga atau unit pelayanan umat tersebut, meminjam istilah M. Amin Abdullah, merupakan bentuk faith in action, buah keimanan yang aktif dan salah satu bentuk pengejawantahan ‘tauhid sosial’ atau ‘theologi pembangunan’. Sayangnya, tidak sedikit buah faith in action tersebut yang terjebak pada bebagai kepentingan mulai dari ekonomi hingga politik.
Agar tetap kokoh dan kuat serta menjadi penyangga seluruh sendi keber-Islaman, aqidah harus dijaga, dipelihara dan dipupuk sehingga bisa hidup subur dalam pribadi setiap Muslim. Pentingnya memelihara aqidah ini juga tersirat dalamSirrah Nabawiyah. Saat membangun masyarakat Islam di Makkah dan Madidah selama 23 tahun Rasulullah Muhammad SAW tidak kenal lelah membina aqidah umatnya. Mengingat pentingnya aqidah ini bisa dimengerti bila setiap surat dalam Al Quran mengandung pokok-pokok ajaran keimanan.
Di tengah pasar bebas nilai dan ideologi saat ini, upaya merevitalisasi aqidah serasa memperoleh momentum. Mudah tergiurnya sebagian umat pada faham atau aliran-aliran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam merupakan efek dari lemahnya aqidah mereka. Ketidak peduliaan sebagian umat Islam terhadap kerusakan lingkungan dan kebobrokanmoral juga indikasi rapuhnya bangunan aqidah. Mulai memudarnya etos dan jiwa voluntarisme di kalangan umat dan semakin menguatnya syahwat duniawi adalah konsekuensi logis dari redupnya aqidah. Saatnya sekarang membenahi dan merevitalisasi aqidah agar umat memiliki pondasi yang benar, kokoh dan fungsional. Dengan bekal ini faith in actionbisa dilipatgandakan untuk menghadirkan pesona Islam yang lebih “ihsan pada kemanusiaan.”
Ajaran islam yang mengatur prilaku  manusia baik dalam kaitanya sebagai makhluk dengan tuhannya maupun dalam kaitannya sebagai sesama mahluk, dalam term fiqih atau ushul alfiqh disebut dengan syariah. Sesuai dengan  aspek yang diaturnya, syariah ini terbagi kepada dua yakni ibadah dan muamalah. Ibadah adalah syariah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya, sedangkan muamalah adalah syariah yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Pada gilirannya kegiatan ekonomi sebagai salah satu bentuk dari hubungan antara manusia ia bukan bagian dari aqidah, akhlaq dan ibadah melainkan bagian dari muamalah. Namun demikian masalah ekonomi tidak lepas dari maspek aqidah, akhlak maupun ibadah sebab dalam prespektif islam prilaku ekonomi harus selalu diwarnai oleh nilai-nilai aqidah, aklak dan ibadah.

Jadi bisa dikatakan, Ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan akhlak. Dengan akhlak yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah. Muamalah bisa dijalankan dengan baik apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik.
Contohnya :
Jika berjanji harus ditepati yaitu apabila seorang berjanji maka harus ditepati. Jika orang menepati janji maka seseorang telah menjalankan aqidahnya dengan baik. Dengan menepati janji seseorang juga telah melakukan ibadah. Pada dasarnya setiap perbuatan yang dilakukan manusia arus didasari denga aqidah yang baik.

C.      Pengertian Ma’rifatullah dan ciri-ciri Ma’rifatullah

Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali
1. asma’ (nama) Allah
2. sifat Allah dan
3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :
1. sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,
2. ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
3. pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
4. sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
5. berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya
6. membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.

Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” QS. 35:28
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (randah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”

URGENSI MA’RIFATULLAH
a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12
b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.
c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.
e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.


SARANA MA’RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :
a. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191
Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim


b. Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah yang artinya :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25


c. Asma dan Sifat Allah
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :



“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110
Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :



“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180 

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Berdasarkan pada hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.     Aqidah secara etimologi;  Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan.  Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang.Aqidah scara syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.
2.     Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminology) Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.
3.     Muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya
4.    Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
5.     Aqidah adalah pondasi keber-Islaman yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain: akhlaq, ibadah dan Muamalat. Aqidah yang kuat akan mengantarkan ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan muamalat yang membawa maslahat. Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah dengan pokok-pokok ajaran Islam yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan simbiosis. Artinya, ketaatan menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan bermuamalah yang baik akan memelihara aqidah.
6.     Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu semua. Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki dampak sosial yang baik. Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga muamalah yang baik, maka diperlukan suatu adanya
7.    Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
8.    Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali
asma’(nama)Allah, sifat Allah dan af’al (perbuatan) Allah
B.     Saran
            Berdasarkan pada pembahasan dan kesimpulan maka penulis memberikan saran yakni Al Quran dan sunah merupakan dua pegangan, tuntunan dan pedoman hidup serta sebagai sumber utama bagi umat islam  untuk dijadikan sebagai panduan analisis dalam mengkaji setiap persoalan yang muncul dalam kehidupan. Oleh karena itu penting kiranya bagi umat islam untuk terus berpegang  teguh pada Al quran dan As sunah serta untuk   memahami makna-makna yang terkandung dalam Al quran dan As sunah. Dan dengan Al quran dan As sunah juga dapat memperkuat Aqidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak umat manusia.



DAFTAR PUSTAKA
 Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari,. 2007. Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah. Pustaka Imam Syafi’i.
H.A Djazuli &Yadi janwari, 2002. Lembaga-lembaga Perekonomian Umat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Muhammad, 2007. Aspek Hukum dalam Muamalat.Yogyakarta: Graha ilmu.
Kaelany HD, 2009. Islam Agama Universa. Jakarta: Midada Rahma Press.
Rahmat, Jalaludin, 2007. Dahulukan Akhlak diatas Fiqih.Bandung: PT. Mizan Utama.
Salih bin fauzan bin Abdullah Al Fauzan,2000. Kitab Tauhid I . Jakarta : Yayasan Al- Sofwa.
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Pengertian Ibadah dalam Islam”, Ahlussunnah Palembang, diakses darihttp://salafiunsri.blogspot.com/2009/06/pengertian-ibadah-dalam-islam1.html, pada tanggal 4 Desember 2012, pada pukul 9.30 PM





0 komentar:

Posting Komentar